Gapmmi Minta Benahi Sejumlah Aspek Sebelum Terapkan Sertifikasi Halal

Jakarta – Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat, mengatakan, sebelum menerapkan aturan wajib sertifikasi halal, pemerintah perlu membenahi beberapa aspek terlebih dahulu.

Pertama, kesiapan auditor halal. Rachmat mengatakan, saat ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum mempersiapkan dengan baik jumlah auditor halal.

Rachmat mengatakan, saat ini terdapat sekitar 1,7 juta pelaku UMKM makanan dan minuman yang ada. Jika dalam waktu lima tahun ke depan seluruh UMKM itu diwajibkan memiliki sertifikasi halal, maka sertifikat halal yang mesti dikeluarkan per harinya sebanyak 1.100 sertifikat per hari atau 33.000 sertifikat per bulan.

Rachmat menilai hal ini mungkin saja bisa dilakukan. Akan tetapi, pemerintah perlu berkaca pada Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang selama 30 tahun baru menerbitkan 60.000 sertifikat halal.

Artinya, untuk mengejar target wajib sertifikasi itu, pemerintah membutuhkan 66.000 auditor halal yang memiliki sertifikat profesi.

“Untuk melakukan sertifikasi halal itu stepnya adalah sediakan auditornya terlebih dahulu, nggak bisa terbalik,” kata Rachmat, Senin (23/12).

Kemudian, pemerintah seharusnya memperbaiki sistem keamanan pangan dan cara memproduksi pangan yang baik terlebih dahulu. “Keamanan pangan itu masih jadi PR (pekerjaan rumah) di Indonesia,” ucap dia.

Rachmat mengatakan, jika semua UMKM khususnya yang berada di daerah diwajibkan memiliki sertifikat halal, dikhawatirkan akan mengganggu jalannya perekonomian di daerah.

Jika sudah seperti itu, ia menilai wajib sertifikasi halal hanya menguntungkan pelaku usaha besar dan pelaku usaha luar negeri yang masuk ke Indonesia.

“Indonesia akan jadi pasar karena industrinya tidak sanggup untuk mendapatkan sertifikat halal, bukan cuma biaya tapi secara teknis juga, sementara kita untuk mencapai tingkat keamanan pangan saja kita masih PR,” ujarnya.

Oleh karena itu, Gapmmi mengusulkan adanya revisi Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dari yang sebelumnya berbunyi “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”

Menjadi “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia harus sesuai norma, agama dan budaya yang berlaku serta wajib bersertifikat halal bagi yang menyatakan dan/atau mengklaim kehalalan.”

Gapmmi khawatir, kewajiban sertifikasi halal ini nantinya malah menimbulkan masalah baru. Misalnya, UMKM mencantumkan logo produk halal palsu. “Orang cari selamat dulu, pasang logo halal nanti kan cek sertifikatnya belakangan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengatakan, perkembangan industri halal di Indonesia masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal.

Bahkan, sampai pada stagnasi pendaftaran sertifikasi halal karena BPJPH yang bersikeras tetap mengambil alih pendaftaran sertifikasi halal, padahal belum siap.

IHW menilai Keputusan Menteri Agama nomor 982 tahun 2019 tentang layanan sertifikasi halal sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah tepat. Hal ini agar UU JPH dapat dijalankan sekalipun BPJPH dan infrastruktur lainnya belum siap.

“UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada LPPOM MUI yang selama ini telah menjalankan fungsi tersebut,” kata Ikhsan.

Ikhsan mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari perdagangan industri halal dan Indonesia menjadi industri utama dunia dalam perdagangan produk halal. “Karena sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja,” ujar Ikhsan.

Sebagai informasi, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019, Indonesia menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir US$ 170 miliar per tahun untuk produk halal.

Artinya, bila dapat memasok kebutuhan sendiri, maka Indonesia akan menghemat devisa sebesar Rp 2.465 triliun per tahun.

(Vendi Yhulia Susanto)

Sumber: nasional.kontan.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *