Sejarah sertifikasi halal di Indonesia bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Tri Susanto, Dosen di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur pada sekitar tahun 1987. Penelitian dilakukan terhadap beberapa produk makanan, seperti mie, susu, makanan ringan dan sebagainya. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa produk-produk tersebut mengandung gelatin, shortening dan lecithin dan lemak yang tidak menutup kemungkinan berasal dari Babi. Hasil penelitian ini sempat termuat dalam Buletin Canopy yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang pada bulan Januari 1988. Buletin ini tersebar luas ke beberapa wilayah dan kemudian timbul kegoncangan yang merebak di tengah kaum Muslimin dan terus meluas ke provinsi-provinsi di Indonesia termasuk sumatera utara. Maka terjadilah demo besar-besaran oleh warga muslim Indonesia yang memprotes adanya bahan-bahan dari babi pada berbagai produk tersebut. Aksi protes ini menunjukkan tingginya kesadaran kaum muslimin terhadap haramnya makanan yang mengandung babi dan turunannya. Di masjid-masjid para khatib Jumat mengingatkan agar kaum muslimin berhati-hati untuk tidak terjebak mengkonsumsi makanan yang diharamkan demi menjaga aqidah dan identitas mereka sebagai muslim. Protes ini berimbas pada guncangnya perekonomian nasional bahkan terancam lumpuh. Masyarakat menjauhi produk-produk yang diisyukan mengandung babi walaupun belum dibuktikan secara ilmiah. Hasil produk nasional turun hingga mencapai lebih dari 30% dari produksi normal. Bahkan produsen mie terbesar saat itu yang biasanya memproduksi sedikitnya 40 juta dus per bulan turun hingga mencapai 50% sehingga hanya maksimum berproduksi 20 juta dus per bulan. Penjualan susu, kecap, es krim, biskuit, kecap dan produk lain turun drastis. Dana yang diperlukan untuk mengembalikan citra produk begitu tinggi. Tragedi nasional isu lemak babi ini begitu mengguncang ketenangan batin umat Islam, menyudutkan dunia industri pangan, dan mengguncang stabilitas ekonomi dan politik nasional. Peristiwa tersebut yang menjadi sebab didirikannya lembaga Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

LPPOM MUI merupakan lembaga yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menjalankan tugas MUI dalam menjaga ketentranaman umat melalui mengkonsumsi makanan, obat dan kosmetika yang jelas kehalalannya. Melalui pertemuan antara Ketua Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan yang diadakan tanggal 1 Desember 1988 yang isinya memberi himbauan kepada para produsen makanan, termasuk yang dihidangkan di hotel dan restoran agar memproduksi, memperdagangkan dan menghidangkan makanan dan minuman yang sungguh-sungguh bersih dari bahan-bahan haram. MUI kemudian membentuk tim yang meninjau pabrik-pabrik yang dicurigai. Publikasi di media massa yang menampilkan gambar para ulama sedang minum susu dan makan mie ini cukup menentramkan dan meyakinkan ummat tentang kehalalan dari produk yang terkena isu kandungan babi. Inilah “pengorbanan” besar yang dilakukan oleh para ulama dalam menjaga ketentraman umat sebagai langkah “meluruskan opini yang mengundang isu kontroversial”. Agar dalam jangka panjang dapat terwujud ketenteraman batin umat Islam serta untuk mencegah terulangnya kasus serupa, maka pada 6 Januari 1989 MUI mengukuhkan berdirinya LPPOM MUI Pusat. Diikuti pada 2003 dibentuklah LPPOM MUI Sumatera Utara. Ini merupakan tonggak awal MUI Sumatera Utara memasuki babak baru di bidang pengkajian pangan, obat – obatan, dan kosmetika, sebagai wujud dalam memenuhi hak masyarakat mengkonsumsi produk halal. Bidang kajian LPPOM MUI sesuai dengan namanya adalah melakukan kajian sesuai dengan bidangnya untuk memberikan masukan bagi MUI dalam memutuskan kehalalan suatu produk. Untuk mendukung tugas ini LPPOM MUI merekrut tenaga peneliti yang juga bertugas sebagai auditor dari berbagai bidang keahlian yang diperlukan seperti : Teknologi Pangan, Teknik industri, kimia, biokimia, farmasi, dan sebagainya.

Dukungan kajian kehalalan ini juga diperoleh dari berbagai kampus, misalnya LPPOM MUI bekerjasama dengan UNWAHAS Semarang yang dituangkan dalam bentuk MoU. Masukan dari LPPOM MUI yang melakukan penelitian dalam bentuk audit terhadap suatu produk ini kemudian dilaporkan kepada Komisi Fatwa MUI untuk menjadi dasar dalam penetapan fatwa halal suatu produk. Jadi jelas bahwa tugas LPPOM MUI adalah melakukan penelitian dan bukan merupakan badan fatwa. Mengingat pentingnya fatwa ini dan tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT kelak, maka Sertifikat Halal yang dikeluarkan MUI ditandatangani oleh tiga pihak. Pertama, dari Direktur LPPOM MUI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penemuannya dalam kajian fakta di lapangan atau di lokasi produksi. Kedua, dari Ketua Komisi Fatwa MUI sebagai penanggung jawab atas kehalalan produk pangan, obat dan kosmetika. Ketiga, dari Ketua Umum MUI sebagai penanggung jawab dalam mensosialisasikan fatwa kepada kaum muslimin.

LPPOM MUI juga mewakili Ketua Majelis Ulama Indonesia bekerjasama dengan Menteri Agama dan Menteri Kesehatan dalam mencatumkan logo halal pada produk-produk makanan dan minuman yang halal. Saat ini izin pencantuman logo halal pada kemasan produk retail ada pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI (BPOM RI) yang merupakan organisasi otonom yang bertanggung jawab kepada Presiden. Keterkaitan kerja antara BPOM dengan MUI adalah bahwa BPOM hanya akan mengizinkan pencantuman logo halal jika perusahaan telah terbukti memiliki produk yang halal yang dibuktikan dengan telah memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Kerjasama luar negeri diwujudkan dengan pengakuan MUI terhadap Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal di Asia, Eropa, Amerika dan Australia yang saat ini jumlah mencapai sekitar 39 lembaga. Sebelum mengakui suatu lembaga sertifikasi di luar negeri, maka MUI melakukan penelitian mendalam terhadap lembaga tersebut baik dari sisi kapabilitas manajerial maupun syariah. Sejalan dengan masa berlakunya sertifikat halal yang dikeluarkan MUI adalah selama 2 (dua) tahun, maka banyaknya pertanyaan dari masyarakat terkait dengan konsistensi kehalalan dari produk yang dihasilkan selama masa berlakunya sertifikat halal tersebut. Bisa saja suatu ketika produsen mengganti bahan maupun fasilitas produksi sehingga status kehalalan dari produk menjadi berubah tidak halal. Untuk menjawab hal ini maka LPPOM MUI mewajibkan kepada semua pemegang sertifikat halal maupun pada perusahaan yang mengajukan untuk sertifikasi halal untuk mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal di perusahaannya. Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah sistem manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam rangka menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan persyaratan LPPOM MUI. Sebagai bukti pelaksanaan dari Sistem Jaminan Halal di perusahaan, maka perusahaan wajib membentuk Tim Manajemen Halal yang memiliki kewenangan untuk menyusun, mengelola, dan mengevaluasi sistem Jaminan Halal. Tim ini dibentuk dari berbagai bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis, seperti bagian Pembelian, Riset dan Pengembangan, Quality Control, Pergudangan, Produksi dan lain-lain. Semua tim yang terlibat dalam aktivitas kritis wajib memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehalalan bahan maupun proses produksi dan fasilitas yang digunakan agar produk akhirnya berstatus halal sebagaimana yang akan di klaim perusahaan untuk diketahui konsumennya. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM MUI telah berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syari’ah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar Sistem Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh LPPOM MUI senantiasa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang kini sedang dibahas di DPR-RI.
Berkaitan dengan itu, MUI telah meneguhkan sikap bahwa konsumen muslim Indonesia sebagai penduduk mayoritas harus dilindungi hak-haknya dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan, minuman, obat, kosmetika, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan lain, atau yang sering disebut produk halal yang beredar di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebab undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian penegakan hukum bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang sesungguhnya, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip keadilan (fairness). Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi produk halal, LPPOM MUI merancang program sosialisasi dan informasi publik antara lain melalui seminar, workshop, kunjungan ke produsen halal, penerbitan majalah, pengelolaan media informasi online serta penyelenggaraan pameran produk halal Indonesia Halal Expo (INDHEX).
Selain itu, demi meningkatkan pelayanan pelanggan, LPPOM MUI membangun Management Information System (MIS), yang memudahkan masyarakat, khususnya para pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikasi halal bisa melakukannya secara online melalui situs www.halalsumut.org. Berbagai langkah dan kebijakan LPPOM MUI di bidang sertifikasi halal dimaksudkan untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam memperoleh produk halal. Oleh karena itu adanya sebuah undang-undang yang menjamin tersedianya produk halal bagi konsumen muslim di Indonesia menjadi sebuah keharusan agar implementasi Sertifikasi Halal semakin diperkuat oleh payung hukum yang jelas.